27 Jul 2011

Suksesi dan Ketidakjelasan Karir Pustakawan

Mari kita simak tulisan Pak Putu Laxman Pendit tentang karir pustakawan.

Dalam acara yang diselenggarakan PDII-LIPI dan ISIPII tempo hari saya ikut diskusi di satu kelompok dan mendengarkan (lagi dan lagi!) keluh kesah Pustakawan tentang profesi mereka di lapangan. Keluhan ini bahkan kemudian juga diutarakan (walaupun dengan sudut pandang berbeda) ke Sidang Pleno oleh salah seorang peserta dari Institut Pertanian Bogor.

Saya sendiri heran campur nelangsa melihat begitu ngototnya (persistent) para Pustakawan mempersoalkan profesi mereka, baik dari segi citra maupun dari segi yang lebih praktis, yaitu karir.


Tetapi pastilah ke-ngotot-an itu ada sebabnya, dan daripada cuma heran atau nelangsa, saya memilih untuk memperhatikan keluhan itu.

Seperti yang sudah-sudah, keluhan itu dimulai dari ketidak-jelasan di kalangan Pustakawan tentang karir mereka di jenjang kepemimpinan, khususnya posisi Kepala Perpustakaan.

Ceritanya amat klasik :

Ketika para senior yang sudah bertahun-tahun menjadi Kepala Perpustakaan perlahan-lahan jumlahnya mengecil, maka para junior dan "semi-senior"(bukan junior lagi, tetapi belum kebagian posisi kepala) menjadi gelisah. Janganlah berprasangka tentang kegelisahan ini, sebab PADA KENYATAANNYA, seringkali sewaktu para senior yang sudah dedengkot tersebut menapak jalan pensiun, penggantinya tak kunjung terlihat tanda-tandanya.

Lalu, ketika tanda-tanda itu belum jelas, malah muncul "satria dari langit". Tahu-tahu seseorang yang tak pernah mengenyam pendidikan IP&I dan bahkan tak pernah bersentuhan dengan kegiatan perpustakaan, "diturunkan dari langit" (atau dari langit-langit!).

Menurut hemat saya, ini merupakan pelecehan luar biasa terhadap profesi Pustakawan -sebuah pelecehan yang sudah amat lama dibiarkan terjadi di Indonesia, bahkan oleh asosiasi profesi terbesarnya dan oleh institusi nasionalnya!

Sekali lagi, kita semua tak mungkin menuntut orang-orang langit yang sudah keburu menjadi Kepala Perpustakaan ini-itu untuk turun dari jabatan atau melengserkan-diri dengan legowo seperti Almarhum Jenderal Besar Soeharto yang sudah berkuasa bertahun-tahun itu. Tak mungkin, lah, kita menggelar demo pro-reformasi seperti para mahasiswa waktu itu!!

Lebih mungkin adalah untuk kita terus-menerus (tak kenal lelah atau bosan) mengritik kebijakan-kebijakan menurunkan satria dari langit di Kepustakawanan Indonesia.

Bahwa kritik ini tak didengar, khususnya oleh pimpinan-pimpinan di Kepustakawanan Indonesia, itu soal lain.

Makin "budek"(tuli) para pemimpin itu, makin jelas bahwa mereka memang bukan pemimpin kita.

Sumber: Putu Laxman Pendit

Daftar Klik Iklan Dapat Uang ---> Klik Banner di Bawah

Emas Mini

Entri Populer